Morfologi Pantai (Sedimentasi)

Sedimentasi adalah proses perkembangan gisik, gosong atau bura ke arah laut melalui pengendapan sedimen yang dibawa oleh hanyutan litoral. Beberapa perubahan morfologi pantai yang terjadi akibat sedimentasi antara lain:

Ketika gelombang menghempas (swash) merupakan kekuatan pukulan untuk memecahkan batuan yang ada di pantai. Butiran-butiran halus dari pecahan batuan (material klastis), seperti kerikil atau pasir, kemudian diangkut sepanjang pesisir (shore, zona pasang-surut), yaitu bagian yang terkadang kering dan terkadang berair oleh gerak pasang-surut atau oleh arus terbimbing sepanjang pesisir (long shore currents). Proses erosi dan pemindahan bahan-bahan penyusun pantai (beach) yang terangkut disebut beachdrift, yaitu penggeseran-penggeseran pasir atau kerikil oleh gelombang (swash dan backwash) sampai diendapkan dan membentuk daratan baru, misalnya, endapan punggungan pasir memanjang yang disebut off shore bars atau spit.

Adanya endapan seperti misalnya spit yang berbentuk memanjang di depan teluk ataupun tombolo yang menghubungkan pulau dengan daratan utama, menunjukkan adanya bagian laut yang tenang. Tenangnya gelombang karena perlindungan tanjung dan merupakan medan pertemuan dua arah massa arus laut yang saling melemahkan; yaitu arus dari kawasan laut luar yang memutar di dalam teluk. Di bagian air yang tenang di situlah terjadi pengendapan.

  • Beach
    Banyak bahan-bahan yang dikikis dari tanjung-tanjung tidak terbawa keluar dan masuk ke dalam air yag lebih dalam, tetapi dihanyutkan oleh arus pasang yang datang ke bagian head (tanjung) dan sides (sisi) teluk sehingga terbentuk “Bay Head Beach” dan “Bay Side Beach”. The long shore current mengalir, terutama menghindari ketidakberaturan pantai, sehingga mengalir memotong di mulut teluk. Head Land Beach; terbentuk kalau materi-materi itu diendapkan di muka tanjung-tanjung.

Headland BeachBeach

  • Bars
    Bar adalah gosong-gosong pasir penghalang gelombang yang terbentuk oleh endapan dari gelombang dan arus. Bar merupakan bagian dari beach, yang tampak pada saat air surut. Bar diberi nama sesuai dengan tempat terjadinya. Bay Mouth Bar ialah bar yang terbentuk dan berpangkal dari tanjung yang satu ke tanjung yang lain di mulut teluk. Arus yang berhasil masuk ke dalam teluk membentuk Bay Head Bar dan Mid Bay Bar.Cuspate Bar dan Looped Bar; adalah bar yang berbukit yang juga dibangun oleh arus. Sebuah Cuspate Foreland menyerupai Cuspate Bar, hanya di situ tidak mempunyai lagoon, karena semua materi-materi mengendap membentuk beach.

    Off Shore Bars yang berbeda-beda di dalam jumlahnya, biasanya hanya merupakan suatu lajur (gosong) pasir yang muncul di atas permukaan laut pada saat laut surut. Di suatu daerah yang luas off shore bars terdiri dari dua atau tiga mil, dipisahkan oleh bukit-bukit pantai (beach ridges) dan bukit-bukit pasir (sand dunes).

    Adalah lumrah bila diketemukan dua atau lebih dari dua bars berkembang sejajar dengan pantai. Bars yang lebih dalam terbentuk pertama kali oleh gelombang yang lemah yang dapat maju lebih jauh ke arah (bagian) laut yang lebih dangkal.

BarsBar

  • Spit
    Biasanya arus yang masuk ke dalam sebuah teluk lebih kuat daripada arus yang keluar menuju ke laut. Akibatnya ujung spit yang pada laut terbuka (pada mulut teluk) menjadi melengkung masuk arah ke teluk. Spit yang demikian disebut “Recurved Spit”Spit yang melengkung, yang terbentuk pertama, biasanya mempunyai lengkungan yang lebih hebat daripada spit melengkung yang terbentuk berikutnya.Complex Spit dihasilkan dari perkembangan spit kecil atau spit sekunder yang menumpang pada ujung dari spit yang utama. Cape Cod dan Sandy Hook, kedua-duanya adalah Complex Spit yang sebaik dengan Compound-spit.
    Spit
  • Tombolo
    Tombolo ialah bar yang menghubungkan sebuah pulau dengan daratan utama. Tombolo itu ada yang single, double, triple; dan ada pula yang berbentuk huruf “V”, yaitu apabila pulau dihubungkan dengan daratan oleh dua bar. Kompleks tombolo terbentuk bila beberapa pulau dipersatukan dengan yang lain dan dengan daratan oleh sederetan bars.
    Tombolo Tombolo2
  • Tidal Inlet dan Tidal Delta
    Tidal Inlets. Kebanyakan off shore bars (spit) tidak mempunyai sifat yang bersambungan, tetapi diantarai atau diselingi oleh terusan-terusan yang dikenal sebagai “tidal inlets”. Tidal inlets ini merupakan pintu-pintu tempat keluar dan masuknya air laut antara laut bebas dengan lagoon sesuai dengan gerak pasang-surut. Jumlah dan tempat inlets atau teluk-teluk dapat memberi hubungan langsung dengan long shore currents karena arus ini adalah tetap membawa muatan material untuk membangun bars.Dalam perkembangan lanjut (mature stage), jumlah dari inlets atau teluk-teluk lambat laun bertambah jauh dari lokasi sumber di mana arus memperoleh muatan material. Tidak hanya gelombang-gelombang yang kurang keras untuk memberi arus itu dengan muatan material yang berasal dari runtuhan, tetapi bar itu sendiri yang lebih kecil dan lebih mudah dilalui oleh gelombang dan air pasang.

    Pada kebanyakan teluk, lagoon lebih mudah ditumbuhi rumput-rumput rawa. Kondisi ini terjadi karena keadaan yang sesuai dengan kadar garam yang tetap dipertahankan oleh adanya hubungan langsung dengan lautan. Lagoon-lagoon yang besar dan terpisah dari lautan (tanpa inlets), airnya tidak dapat ditumbuhi oleh tumbuhan marine.

    Tidal Deltas. Arus pasang-surut yang keluar-masuk pada tidal inlets membawa pasir masuk ke dalam lagoon dan juga pasir ke luar laut. Arus yang masuk itu kemudian mengendapkan material muatannya ke dalam lagoon di mulut inlets dan membentuk delta; dan disebut “Tidal Delta”. Hampir semua bars menahan sebuah deretan delta yang terbentuk pada sisi dari lagoon.

    Bahan-bahan yang tererosi oleh gelombang laut akan diangkut dan diendapkan pada dua bagian kawasan. Sebagian diendapkan ke arah darat (coastal) ketika terjadi swash; dan sebagian lainnya lagi diangkut oleh arus balikan yaitu backwash untuk selanjutnya diteruskan oleh arus kompensasi untuk diendapkan ke bagian dasar yang lebih dalam.
    Delta

  • Beach Ridges
    Beach ridge (punggung / bukit-bukit tepi pantai) menggambarkan kedudukan yang dicapai dari majunya garis pantai. Tekanan-tekanan atau depression yang terjadi antara bukit-bukit atau ridges dikenal sebagai Swales, Slashes or furrowsRidges dan swales dapat terjadi pada sembarang pantai.
    Beach Ridges

Morfologi Pantai (Abrasi)

Morfologi pantai secara sederhana dapat diartikan sebagai bentuk pantai. Morfologi pantai merupakan daerah yang selalu mengalami perubahan oleh karena ada banyak proses yang terjadi di dalamnya baik itu proses yang berawal dari daratan maupun dari lautan, kedua proses tersebut bertemu di pantai. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal seperi pasang surut, gelombang, arus laut, jenis batuan, dan lainnya. Namun, secara sederhana, perubahan geomorfologi pantai diakibatkan oleh dua kejadian alam yang disebut dengan abrasi dan sedimentasi.

Gambar 1 di bawah menunjukkan klasifikasi pantai, sedangkan gambar 2 menunjukkan perubahan yang dapat terjadi pada morfologi pantai akibat dari erosi atau sedimentasi.

Beach Classification

Gambar 1

Perubahan Morfologi

Gambar 2

Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Beberapa perubahan morfologi pantai yang terjadi akibat abrasi antara lain:

  • NotchCliffdan Wavecut PlatformCliff adalah bentuk lereng terjal yang menyerupai dinding; yaitu bagian yang ditinggalkan setelah suatu massa batuan longsor (landslides) oleh gaya beratnya sendiri.  Sebelum cliff terbentuk, dimulai dengan pembentukan notch yang merupakan hasil pekerjaan gelombang (abrasi). Notch yaitu bentuk cekungan kaki lereng (profil) yang menghadap ke arah laut, pada zona pasang-surut dan garis tengahnya secara horizontal memanjang sejajar dan selevel dengan garis pantai/muka laut di saat pasang.Ada dua tipe cliff. Tipe yang pertama bentuknya tegak atau miring ke belakang. Cliff tipe ini biasanya karena terdiri dari batuan yang relatif lembut, atau struktur geologisnya yang miring ke arah darat. Tipe yang kedua adalah overhanging cliff, suatu bentuk clif yang dinding lerengnya sangat miring atau menonjol ke arah laut. Clif tipe overhanging terbentuk pada formasi batuan yang keras (cadas) dengan struktur (deep) yang miring ke arah laut.

    Wave-cut platform, adalah bagian dari pesisir (laut) yang rata pada permukaan batuan dasar (beds rock) yang dibentuk oleh pekerjaan gelombang.

    OLYMPUS DIGITAL CAMERA
    Wave – Cut Platform

    Beach CliffBeach Cliff

  • Sea Cave, Blow Hole danInletPerbedaan kekerasan batuan; ada batuan yang lembut dan yang lainnya keras, memberi perbedaan dalam kecepatan pengikisan. Bagian-bagian batuan cadas di mana terdapat celah dan rekahan-rekahan seperti jointed, akan lebih cepat terkikis daripada bagian yang tanpa celah atau rekahan.

    Sekali gelombang sempat membuat suatu lubang, maka kekuatan atau daya tekanan dari benturan gelombang akan semakin intensif dan efisien terhadap lobang tersebut. Suatu lobang yang berbentuk corong yang mengarah ke arah datangnya gelombang, akan memberi peluang terfokusnya tekanan gelombang untuk memperhebat daya benturannya. Kondisi yang demikian akan lebih dipertajam daya kikisnya bila di dalam gelombang itu termuat butiran-butiran material keras. Makin luas mulut suatu gua di dinding pantai, makin banyak pula massa air gelombang yang membentur ke dalamnya. Tekanan benturan dan pukulan gelombang semacam ini di saat badai mampu menggetarkan (microseismic) dan meremukkan kompleks batuan cadas di sekitarnya. Lambat laun muncratan air menembus hingga ke permukaan tanah di atasnya (headland) dan membentuk blow hole.

    Dua macam lubang besar ini (cave dan blow hole) diberi nama sesuai dengan posisinya. Cave atau gua laut karena posisinya yang horizontal mengarah ke laut; sedangkan blow hole adalah lubang yang tegak lurus, seperti dolina di daerah karst. Bentukan blow hole dipercepat oleh benturan langsung gelombang, dan juga oleh semprotan (muncratan), getaran, pelapukan dari atas dan gravitasi yang menjatuhkan batuan di atasnya. Demikian seterusnya hingga kedua lubang tersebut bukan saja bersambungan dalam bentuk terowongan, tetapi atapnya pun runtuh seluruhnya, disebut inlet atau terusan

Sea Cave
Sea Cave
Blow Hole
B
low Hole
Inlet
Inlet

  • Sea Cave, Archdan StackDemikianlah proses suatu gua laut terbentuk hingga menembus ke dinding pantai sebelahnya pada suatu tanjung. Terowongan gua dengan sambungan semacam jembatan alam di atasnya pada ujung tanjung disebut arch.Bila kelak jembatan alam (arch) ini runtuh atau putus, maka bagian ujung tanjung yang ditinggalkan, dengan bentuk pilar raksasa (tugu) disebut stack.

ArchArch

Stack
S
tack

Pasang Surut (Tidal) – Istilah Pasang Surut

Kita sudah bahas mengenai pasang surut bahwa bulan memberikan pengaruh gaya yang lebih besar terhadap pasang surut yang terjadi di bumi.

Pada bagian kedua ini, kita akan bahas mengenai istilah-istilah yang sering terdengar mengenai pasang surut. Pasang surut terbesar di dunia adalah di Teluk Fundy, pesisir timur Kanada dengan besarnya nilai tunggang pasang surut sebesar 16 meter.

4

Dalam pasang surut, ada istilah high tide, low tide, dan tidal range.
High tide adalah pasang, yaitu kondisi atau titik tertinggi dari pasang surut.
Low tide adalah surut, yaitu kondisi dimana titik terendah air dari fenomena pasang surut.
Sementara itu, tidal range atau tunggang pasang surut adalah selisih antara high tide dan low tide.

Kemudian, ada juga yang disebut ebb current dan flood current. Ebb current adalah arus yang timbul akibat pasang surut dan arahnya tegak lurus pantai ke arah laut, arus ini sedikit banyak berkontribusi dalam terjadinya abrasi pantai. Terjadi ketika laut dalam kondisi pasang, beralih ke posisi surut.
Sementara itu, flood current adalah arus tegak lurus pantai akibat pasang surut yang memiliki arah ke arah pantai. Arus ini biasanya berkontribusi dalam terjadinya sedimentasi pantai. Terjadi ketika laut  dalam kondisi surut, beralih ke posisi pasang.

5
11

Pasang surut adalah sebuah proses periodik dari kenaikan dan penurunan muka air laut sebagai akibat dari pengaruh gravitasi bulan dan matahari. Proses periodik adalah proses alam dimana kejadian terjadi secara berulang-ulang sehingga bisa diprediksi. Berbeda dengan gelombang yang adalah kejadian acak, pasang surut bersifat periodik sehingga bisa ditentukan dengan pasti kejadian dari pasang surut. Pasang surut secara garis besar dibagi menjadi 2 tipe, berdasarkan pada periode pasang surut, yaitu tipe diurnal dan semi-diurnal.

Diurnal adalah fenomena pasang surut dimana terjadi 1 kali pasang dan 1 kali surut dalam 1 hari (24.8 jam).
8
Semi – diurnal 
adalah fenomena pasang surut dimana terjadi 2 kali pasang dan 2 kali surut di dalam 1 hari (24.8 jam). Pengaruh dari semi-diurnal semakin berkurang pada daerah yang jauh dari khatulistiwa.
9

Kemudian, ada juga dinamakan mixed semidiurnal tide, yaitu ketika dalam 1 hari, terjadi dua kali pasang dan 2 kali surut namun ketinggiannya berbeda setiap kali.
10

Kemudian, ada juga istilah yang disebut dengan pasang perbani dan pasang purnama.
Pasang perbani atau neap tides adalah peristiwa dimana tunggang pasang surut paling kecil, terjadi ketika matahari dan bulan berposisi tegak lurus dari bumi.
6
Sedangkan pasang purnama atau spring tides adalah peristiwa dimana bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis sehingga terjadi tunggang pasang surut yang terbesar.
7

Kemudian, ada istilah-istilah dalam posisi muka air di laut, yang dapat dilihat pada gambar berikut:12

Data pasang surut biasanya berupa tabel, yang disebut tabel pasang surut atau tide table. Tabel ini berisi pengukuran muka  air setiap jam yang dilakukan dengan datum (titik referensi) tertentu. Untuk data pasang surut di Indonesia, biasanya dapat diambil dari Dishidros (Dinas Hidrografi dan Oseanografi). Berikut ini adalah contoh pasang surut yang ada di Tangguh, Papua Barat.
13

Data ini nantinya dapat digunakan untuk menghitung HAT dan LAT (lihat gambar tentang posisi muka air) karena ketika mendesain bangunan, diperlukan HAT supaya bangunan yang kita desain tidak terendam oleh air laut. Data tersebut nantinya bisa menjadi grafik seperti contoh berikut:
14

Informasi berikutnya adalah mengenai komponen pasang surut, akan dibahas di bagian 3. Semoga bermanfaat. 🙂

Pasang Surut (Tidal) – Pengaruh Gravitasi

Helo semua, sudah lama gak update lagi nih, hari ini kita mau sama-sama belajar tentang pasang surut. Sebenarnya, apa sih pasang surut itu? Pasang surut adalah proses turun dan naiknya muka air laut akibat gaya tarik menarik antara bumi dengan benda langit lainnya seperti bulan dan matahari. Bulan memberikan gaya tarik, demikian juga matahari, karena kedua benda langit ini memberikan gaya tarik, maka air laut akan tertarik ke arah mereka, itulah yang menyebabkan terjadinya pasang surut.
12
Nah, di gambar kedua,  secara ilmiah, dijelaskan F1 adalah gaya gravitasi matahari yang bekerja pada kulit bumi yang dekat matahari, sedangkan F2 adalah gaya gravitasi yang bekerja pada pusat massa bumi, sedangkan F3 adalah gaya gravitasi yang bekerja pada kulit bumi yang jauh dari matahari. Berdasarkan persamaan gravitasi, yaitu F = G*(m1*m2)/(R^2), maka didapatkan bahwa F1 > F2 > F3 sehingga D1 yang adalah selisih antara F1 dan F2 akan menyebabkan pasang surut ke arah matahari, sedangkan D2, yaitu F2-F3 akan menyebabkan pasang surut ke arah yang berlawanan dengan matahari. Bagaimana dengan gaya gravitasi bulan? Penjelasannya sama dengan gaya gravitasi matahari. Pertanyaannya, mana yang lebih dominan? Kalau kita lihat pada persamaan gaya gravitasi, faktor yang berpengaruh adalah massa dan jarak kedua benda langit. Massa matahari memang jauh lebih besar dari bulan, namun jarak matahari ke bumi jauh lebih jauh daripada jarak bulan ke bumi. Sehingga, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa gaya yang lebih berpengaruh adalah gaya tarik yang disebabkan oleh bulan. Mau pembuktian? Mari kita lihat perbandingannya: Gaya pasang surut atau tidal force timbul akibat selisih dari F1 dan F2, F1 adalah gaya gravitasi matahari di permukaan bumi, F2 adalah gaya gravitasi matahari di pusat bumi. Untuk menghitung gaya pasang surut, maka kita harus hitung selisih dari keduanya: 2 3   Maka, dapat disimpulkan bahwa gravitasi dari bulan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap pasang surut, dibandingkan dengan gravitasi dari matahari. Sekian informasi pasang surut untuk bagian pertama, penjelasan selanjutnya mengenai pasang surut untuk bagian kedua akan segera diberikan. Sumber: https://www.physicsforums.com/threads/how-do-you-derive-the-tidal-force-equation.70391/ http://en.wikipedia.org/wiki/Tidal_force http://www.moonconnection.com/tides.phtml

Pelabuhan dan Terminal

Pelabuhan
Definisi
Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran, definisi pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

Peran Pelabuhan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009 bab II pasal 4, pelabuhan memiliki peran sebagai:

  1. simpul dalam jaringan transportasi sesuai hierarkinya;
  2. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
  3. tempat kegiatan alih moda transportasi;
  4. penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
  5. tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
  6. mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.

Keputusan Menteri Perhubungan RI nomor 54 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan bab III pasal 5 ayat 2, menjelaskan mengenai jangka waktu perencanaan dalam rencana induk pelabuhan dibagi menjadi 3, yaitu:

  • Jangka panjang yaitu di atas 15 (lima belas) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun.
  • Jangka menengah yaitu di atas 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun.
  • Jangka pendek yaitu 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun.

Hierarki Pelabuhan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009 bagian kedua pasal 6 ayat 3, menyatakan bahwa pelabuhan laut secara hierarki terdiri atas:
1. Pelabuhan utama
Pelabuhan utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

2. Pelabuhan pengumpul
Pelabuhan pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.

3. Pelabuhan pengumpan
Pelabuhan pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.

Terminal
Definisi
Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, bab I pasal 1 ayat 20, dituliskan bahwa definisi terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.

Jenis-jenis Terminal
Terminal dibagi berdasarkan komoditas yang dilayani. Jenis-jenis terminal di pelabuhan antara lain:
1. Terminal peti kemas
4
Terminal Peti Kemas Surabaya

2. Terminal penumpang
5
Terminal Penumpang Kendari

3. Terminal curah kering
6
Terminal Curah Kering Cirebon
4. Terminal curah cair
7
Terminal Curah Cair Kabil
5. Car terminal
8
Car Terminal di Pelabuhan Tanjung Priok


6. Terminal konvensional
9
Terminal Konvensional Batam

7. Terminal ro-ro
10
Terminal Ro-ro Manila, Filipina

Mengenal Peti Kemas

Peti kemas adalah suatu kemasan yang dirancang secara khusus dengan ukuran tertentu, yang dapat dipakai berulang kali, dan dipergunakan untuk menyimpan dan sekaligus mengangkut muatan yang ada di dalamnya.

Keuntungan menggunakan sistem peti kemas:

  • Bongkar muat peti kemas dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
  • Barang yang terkirim terlindungi.
  • Bentuk yang standar memudahkan proses pengaturan penumpukan.
  • Tidak butuh gudang, cukup lapangan yang luas.
  • Hemat tenaga kerja.
  • Sistem pengawasan dapat dilakukan secara komputerisasi.

Kerugian menggunakan sistem peti kemas:

  • Biaya investasi terminal peti kemas dan fasilitas di atasnya sangat besar.
  • Rawan terhadap penyelundupan.
  • Dibutuhkan keterampilan yang tinggi bagi pekerjanya.

Satuan peti kemas biasanya disebutkan sebagai TEU (Twenty-feet equivalent unit).

Ukuran dari peti kemas, berdasarkan International Standard Organization (ISO 668), ditetapkan sebagai berikut:

  • Container 20’ dry freight (20 feet) atau 1 TEU
    • Panjang: 20’ atau 6.058 m
    • Lebar: 8’ atau 2.438 m
    • Tinggi: 8’ 6’’ atau 2.591 m
  • Container 40’ dry freight (40 feet) atau 2 TEU
    • Panjang: 40’ atau 12.192 m
    • Lebar: 8’ atau 2.438 m
    • Tinggi: 8’ 6’’ atau 2.591 m

12

Sejarah Peti Kemas

Ide untuk menggunakan peti kemas pertama kali di berikan oleh Malcolm McLean. Bliau adalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang pengangkutan darat dengan nama McLean Trucking, sebuah perusahaan trucking dengan fleet terbesar ke-5 di Amerika Serikat pada tahun 1956. Jumlah armada truknya saat itu mencapai 1776 buah dan memiliki 37 terminal atau depo. McLean kemudian membeli perusahaan Pan Atlantic Oil Tanker yang memiliki kapal tanker yang sudah karatan, mengubah nama perusahaan ini menjadi Sea-Land Inc. Dan memodifikasi 2 kapal tanker yang bernama “IDEAL-X” dan “ALMENIA”. Kapal-kapal inilah yang digunakan untuk mengangkut kontainer pada pelayaran pertamanya.

Pelayaran pertama kapal “IDEAL-X” dimulai pada tanggal 26 April 1956 dengan mengangkut 58 kontainer dan 15,000 ton muatan curah petroleum dari Newark ke Houston. Ukuran petikemas saat itu adalah 35 feet long.

Selanjutnya, McLean memodifikasi kapal tanker lainnya menjadi kapal yang hanya mengangkut peti kemas dengan nama “MAXTON” pada tahun 1956.

Pada April 1966, perusahaan United States Lines (USL) memulai pelayaran pertama menyeberangi samudra Atlantik yang mengangkut kontener. Tetapi, mereka hanya mengangkut kontener 140 x 20” kontener dan muatan konvensional setiap minggunya dengan kapal “AMERICAN RACER”.

Sebulan kemudian, Sea-Land Inc mengikuti dengan pelayaran pertamanya ke Eropa yang hanya mengangkut kontener dengan kapal “FAIRLAND”. Kapal ini berangkat dari Port of Elizabeth, New Jersey pada tanggal 23 April 1966 dengan mengangkut 226 x 35” kontener dan tiba di Rotterdam pada tanggal 3 Mei 1966.

Dalam perjalanannya, group usaha ini dijual ke Maersk pada akhir tahun 1990an dan nama perusahaannya menjadi Maersk Sea-Land Inc.

3

Alur Pelayaran Pelabuhan

Berdasarkan Kepmenhub 68 tahun 2011 mendefinisikan Alur-Pelayaran di Laut adalah perairan yang dari segi
kedalaman, lebar dan bebas hambatan pelayaran lainnya
dianggap aman dan selamat untuk dilayari kapal angkutan
laut. Alur pelayaran bertujuan untuk mengarahkan kapal-kapal yang akan keluar masuk ke pelabuhan sehingga pelabuhan bisa lebih teratur. Alur pelayaran harus memiliki kedalaman dan lebar yang cukup agar bisa dilalui kapal-kapal yang direncanakan akan berlabuh.

Alur pelayaran di dalam pelabuhan bertujuan sebagai penghubung antara daerah tempat kapal melempar sauh (kapal menunggu biasanya di luar breakwater apabila ada) dengan daerah perairan dekat dermaga (biasanya di dalam breakwater, kolam pelabuhan).

Keberadaan alur pelayaran di pelabuhan salah satunya ditandai dengan adanya SBNP atau Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, yang berfungsi sebagai penanda batas dari alur pelayaran.

SBNP

Denah Alur Pelayaran

Alur pelayaran sebisa mungkin lurus karena kapal sangat sulit untuk berbelok. Untuk pelabuah di wilayah perairan dalam, alur pelayaran relatif pendek. Rumus untuk menghitung alur pelayaran adalah:

Kedalaman Alur Pelayaran

H = d + G + R + P + S + K
d = draft kapal (m)
G = gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat (m)
R = ruang kebebasan bersih (m)
P = ketelitian pengukuran (m)
S = pengendapan sedimen antara dua pengerukan (m)
K = toleransi pengukuran

Kedalaman Alur

Elevasi dasar alur nominal adalah elevasi dimana tidak terdapat rintangan yang menganggu pelayaran. Nilai S (endapan sedimen) minimum sebesar 0.5 m (dasar laut berupa pasir) dan 1 m (dasar laut berupa karang)

Squat adalah pertambahan draft kapal terhadap muka air yang disebabkan oleh kecepatan kapal. Dihitung berdasarkan dimensi dan kecepatan kepal dan kedalaman air. Squat berdasarkan persamaan Bernoulli dapat ditulis:

Squat
Δ
 = volume air yang dipindahkan (m3)
Lpp = panjang garis air (m)
Fr = angka froude = [V / (g . h)^0.5]
V = kecepatan kapal (m/s)
g = percepatan gravitasi
h = kedalaman air (m)

Penyederhanaan nilai kebebasan bruto (G + R) pada alur pelayaran diberikan oleh Brunn (1981), yaitu:

  1. Laut terbuka –> 20% dari draft kapal maksimum
  2. Tempat kapal melempar sauh –> 15% dari draft kapal maksimum
  3. Alur di kolam pelabuhan dimana gelombang besar –> 15% dari draft kapal maksimum
  4. Alur yang tidak terbuka terhadap gelombang –> 10% dari draft kapal maksimum
  5. Kolam pelabuhan yang tidak terlindung dari gelombang –> 10% – 15% dari draft kapal maksimum
  6. Kolam pelabuhan yang terlindung dari gelombang –> 7% dari draft kapal maksimum

Beberapa standard internasional menggunakan nomor 3 sehingga, secara sederhana, kedalaman untuk alur pelayaran adalah
1.15 X draft kapal

Lebar Alur Pelayaran
Lebar alur biasanya diukur pada kaki sisi-sisi miring saluran atau pada kedalaman yang direncanakan dengan beberapa faktor yang menentukan seperti:

  • Lebar, kecepatan, dan gerak kapal
  • Traffic kapal (1 jalur atau 2 jalur)
  • Kedalaman alur
  • Apakah alur sempit atau lebar
  • Stabilitas tebing alur
  • Angin, gelombang, dan arus dalam alur

Rumus lebar alur pelayaran secara sederhana adalah:
Lebar alur = 1.5B + 1.8 B + 1.5 B (satu jalur)
Lebar alur = 1.5B + 1.8 B + C + 1.8B + 1.5 B (dua jalur)
B = lebar kapal
C = ruang bebas antara lintasan manuver kapal = B (m)

Potongan Alur Pelayaran

Pipeline Shore Approach And HDD

Pipelines transport gas or oil from offshore platforms to onshore storages or refinery facilities. Also, pipelines are used to transport onshore gas or oil to offshore for offloading a shuttle tanker. Either case, the pipeline needs to cross the coastal lines. If no environmental concerns exists, the most cost effective beach crossing method is an open cut using dredge or trencher. If the beach crossing area is an environment sensitive area, such as oyster field, turtle shelter, coral (tour) area, etc., and excessively strong current occurs, horizontal directional drilling (HDD) is recommended.

Figure 1 shows a pipeline initiation from beach by using an open cut method. The sheet piles are installed both sides of the trench to protect the trench from backfilling during pipeline pulling operation.

58
Figure 1. Shore Approaching by Open Cut Method

The HDD is used to install pipeline beneath obstructions, such as rivers or shorelines. It is considered the most effective environmental conservation method, but more expensive than open cut & backfill method (see Figure 2).

59
Figure 2. Shore Crossing HDD

HDD is not suitable for all types of soil, Depending on soil types, the HDD time and cost vary significantly.

  • Clay or sand: Good to excellent.
  • Gravelly sand: Marginally acceptable
  • Sandy gravel: Questionable
  • Gravel or rock: Unacceptable

Figure 3 shows the HDD sequence. The entry and exit angles are varied due to soil types but typically less than 10 degrees from horizontal plane. The drilling mud used during drilling operation penetrates into the soil and pastes the drilling hole surface, to prevent collapse of the drilling holes.

HDD contractors include:

  • HDI (Horizontal Drilling International)
  • Mears
  • Laney Directional Drilling
  • Nacap, etc.

60
Figure 3. HDD Sequence

Source: Lee, Jaeyoung. Introduction to Offshore Pipelines and Risers. 2007. Page 137

Innovation Enhances Deepwater Pipeline pre-commissioning and inspection

Deepwater pipeline pre-commissioning and in-line inspections are logistical and technical challenges, and vessel time is typically a major expense. The Tamar gas field project in the Mediterranean Sea met these challenges using specialized subsea commissioning technology to mechanically displace and introduce pipeline fluids, and ultrasonic in-line inspection tools to assure pipeline integrity.

The long-distance, deepwater pipeline project for Noble Energy involved a subsea gas production and transportation system connecting the Tamar gas field to an offshore receiving and processing platform linked to the existing Mari-B platform. The system produces gas from five high-flow-rate subsea wells through separate infield flowlines to a subsea manifold. Dual subsea pipelines transport production from the subsea manifold approximately 149 km (92.5 mi) to the Tamar offshore receiving and processing platform. The processed gas goes to the existing Ashdod Onshore Terminal (AOT) for sales into the Israel Natural Gas Line (INGL).

Weatherford’s Pipeline and Specialty Services (P&SS) group was contracted to provide the pipeline pre-commissioning and inspection, including tieback pipelines, monoethylene glycol (MEG) pipelines, infield flowlines, gas and condensate injection pipelines, Tamar sales gas export pipeline, and utility pipelines. Integration of these services through a single contractor was one key to reducing logistical and scheduling constraints for overall project success.

Infield flowline operations
Challenges and solutions engaged in the project revolved around subsea flooding, testing, and MEG injection; dewatering, MEG conditioning, and nitrogen purging; and ultrasonic wall measurement base line inspection.

A key aspect of the pre-commissioning involved flooding, cleaning, gauging, and hydrotesting the 5 x 10-in. deepwater (1,600 m to 1,800 m/5,248 ft to 5,904 ft) infield flowlines of 4-km to 6-km (2.5-mi to 3.7-mi) lengths. These operations were performed from the seabed using Weatherford’s Denizen subsea pre-commissioning system.

Image
Figure 1. The Tamar gas field presented many logistical and technical challenges to pre-commissioning and inspection.

Flowline operations were independent of the tieback lines and jumper installation. Schedule flexibility increased as a result, and the remote subsea operations avoided the use of a large, vessel-based pumping spread or deepwater downline. Subsea pumps for the flood and hydrotest operations were driven by high ambient hydrostatic pressure during the pipeline free-flood phase and by ROV hydraulic power.

The Denizen pigging pump launched the dewatering pig train with slugs of MEG. A custom, high-volume MEG skid was deployed subsea and connected to the flooding skid to avoid the cost of downline intervention to inject the MEG.

Pre-launching the pigs allowed dewatering of the 10-in. infield lines via a jumper from the 16-in. tieback lines. As a result, all dewatering nitrogen injection was performed from the shallow end of the tieback lines.

Another novel subsea operation used multiple remote subsea data-logging skid packages during hydro-testing. Typically, the ROV and pumping skid hold station at the end of the pipeline for the full 12- or 24-hr pressure test. This was unworkable with five pipelines requiring testing and hold periods.

The solution was to deploy multiple independent hydro-test logging skids. The system’s pumping skid has a built-in hydro-test data logging system that displays pipeline pressure, temperature, and pump flow rate. A high-pressure triplex pump, powered by the ROV’s hydraulic system, elevated pipeline pressure by injecting chemically treated and filtered seawater.

The logging skids were stabbed into the pipeline and the pressure test was conducted through them. Instead of remaining on station during the hold period, the pump skid was freed to pressurize the next pipeline.

Twin 16-in. pipelines
Flooding, cleaning, and gauging the twin 147-km (91.3-mi) x 16-in. pipelines was done from a vessel at the shallow end of the 240-m to 1,700-m (782-ft to 5,576-ft) water depth run. In-line inspection surveys were conducted during flooding. A caliper tool was pumped to verify minimum bore followed by a UTMW tool to acquire the wall thickness baseline survey.

The inspection was followed by dewatering operations for all 5 km (3 mi) of the Tamar infield and tieback pipelines. Pipeline diameter and water depth required a pressure range of 170 to 235 bar (3,465 psi/17 MPa to 3,408 psi/23.5 MPa), which required specialized compression equipment. Weatherford’s Temporary Air Compression Station (TACS) fleet provided sufficient compression power to complete the dewatering, MEG conditioning, and nitrogen purging in a single pigging operation.

The procedure eliminated additional post-dewatering pigging/purging, and left the pipelines ready to accept hydrocarbons. MEG batches between pigs in the dewatering train conditioned the post-dewatering residual water and prevented the formation of hydrates. Additional MEG was included for pipe wall desalination.

Image
Figure 2. Denizen pumping skid with ROV reduced vessel time for subsea operations.

A novel approach was also used to dewater the 10-in. infield lines via the 16-in. tieback lines without using a downline or a second vessel. The tieback lines were packed to a higher gas pressure (232 bar/3,365 psi/23.2 MPa) than required for dewatering (170 bar). Later, the nitrogen in from these lines was directed through a manifold and set of jumpers to drive the pig trains in the 10-in. infield lines. Because the pig trains were launched earlier, no deepwater downline was required for MEG injection.

Dewatering efficiency was achieved by regulating pig speed using a stab-mounted orifice plate installed at the discharge end of each 10-in. infield line. Days of vessel time were saved by dewatering all five infield lines using the pressurized nitrogen contained in the long tieback lines.

UTWM Line Inspection
The cost of deepwater repair makes inspection accuracy critical to pipeline integrity assessment. An ultrasonic wall measurement (UTWM) baseline survey was performed on the 16-in. tieback using Weatherford’s latest ultrasonic in-line inspection (ILI) tools.

Ultrasound non-destructive testing has been used for in-line inspection since the 1980s. The technology measures wall thickness based on ultrasound compression waves directed into the pipe wall. Ultrasonic transducers positioned 90° to the pipe wall use an impulse-echo mode to transmit an acoustic wave and to receive return echoes. The echoes represent the locations of the internal and external pipe wall, and metallurgical anomalies such as laminations. A UTWM baseline inspection identifies and classifies non-injurious signals such as mid-wall laminations and other mill-related anomalies.

Baseline Corrosion Survey
Accurate anomaly classification and sizing is valuable when comparing the baseline to future inspection data. Accuracy also enhances future integrity efforts such as engineering assessments and growth rates. It is important for deepwater subsea lines where normal onshore non-destructive examination validation practices are cost prohibitive. A higher level of accuracy is also important when assessing anomalies, assigning risk, and prioritizing maintenance and expenses.

Image
Figure 3. Advanced ultrasonic inspection tool was used to examine pipeline integrity.

Compared to magnetic flux leakage (MFL) tools, ultrasonic technology results in better sizing accuracy in determining wall loss and pipe wall thickness. This is because ultrasonic pulse echo physics are a more direct measurement of wall loss. In some cases, however, MFL is a better solution because it can be more forgiving of dirt, debris, rough internal pipe surfaces, and waxy liquids. This necessitates a comprehensive pre-inspection assessment prior to selection of the appropriate technology.

Accurate measurement of wall thickness has a direct influence in calculating the failure pressure of a corrosion feature. Typical MFL tools do not measure wall thickness but infer it from API pipe specification, pipeline construction data, and/or estimated variations in the magnetic field. This provides a relative assessment due to pipeline data inaccuracies or difficultly obtaining data because of asset ownership transfers, unavailable data, or unrecorded pipeline reroutes and modifications.

In addition, inferred measurements do not consider wall thickness tolerances from the pipe mill. As a result, an MFL corrosion wall loss depth measurement depends on a relative measurement of the pipe wall. This decreases the sizing accuracy beyond the normal ILI tool sizing tolerance because, in addition to tolerances associated with the ILI tool anomaly sizing, there are also tolerances associated with the actual pipe spool wall thickness from the mill.

Acceptable tolerances from the mill can be as high as ± 10% for pipe wall thicknesses between 5 mm (0.2 in.) and 15 mm (0.6 in.) in welded pipeline. Tolerances for pipe walls greater than or equal to 15 mm are ± 15% in welded pipe. These pipe mill tolerances and the high corrosion-anomaly sizing tolerances of an MFL tool mean the calculated failure pressure from an ILI survey can be significantly over or under as the result of sizing inaccuracies caused by quantifying depths as a percentage of the assumed wall thickness.

More accurate corrosion sizing also provides better data to feed an assessment standard such as B31G, modified B31G, or RSTRENG effective area assessment, the preferred method for determining the remaining strength of the pipe. Of the three, RSTRENG effective area assessment is the most accurate, based on actual versus predicted burst pressure tests.

Experience demonstrates the occurrence of echo loss due to adverse pipeline conditions. New sensor technology in current UTWM devices helps enhance detection and accuracy. API 11636 engineering tests and field data analysis show improved sensitivity and reduced signal degradation, which is critical to a successful deepwater subsea baseline survey. The same sensor technology is used for in-line crack inspection with accurate sizing results that can be used for integrity assessments methodologies such as API 5797.

16-in. Tieback Inspection
In the Mediterranean operation, tight scheduling for the subsea launch presented a challenge for the 16-in. UTWM ILI inspections. Normally, there would have been sufficient battery life for the inspection tool run. However, in this case a delayed activation was needed because of the time needed for a subsea launch.

The ILI tool first had to be inserted into the pipeline launcher receiver (PLR) onboard the vessel. A vessel crane moved the launcher with the ILI tool to the pipeline end manifold (PLEM). A hydraulic lock secured the pipeline end termination (PLET) to the pipeline, and an ROV was used to turn the subsea valves and launch the pig.

The time-consuming process increased the risk of delays that could drain battery life and cause a failed run. As a result, a two-hour window was included for unforeseen delays. This safety factor led to programing a 12-hour delayed activation from the time the tool was inserted into the PLR onboard the vessel.

Source: Mark J. Slaughter. Offshore Magazine: Innovation Enhances Deepwater Pipeline pre-commissioning and inspection. 12 Desember 2013. Weatherford.
Online:http://www.offshore-mag.com/articles/print/volume-73/issue-12/flowlines-and-pipelines/innovation-enhances-deepwater-pipeline-pre-commissioning-and-inspection.html (1 February 2014)

Thermal Management Strategy and Insulation

As oil/gas production fields move into deeper water there is a growing need for thermal management to prevent the build up of hydrate and wax formations in subsea systems. The thermal management strategy is chosen depending on the required U-value, cool-down time, temperature range and water depth.

External Insulation Coating System
Figure 1 shows a typical multi-layer coating system which combines the foams with good thermal insulating properties and PP shield with creep resistance. These coatings vary in thickness from 25mm up to 100mm or more. Typically thicknesses over about 65mm are applied in multiple layers.

52
Figure 1. Typical multi-layers Insulation System

Coating systems are usually limited by a combination of operating conditions including: temperature, water depth and water absorption. Combinations of temperature and hydrostatic pressure can cause creep and water absorption, with resultant compression of the coating and a continuing reduction in insulating properties throughout the design life. These issues need to be accounted for during design.

Insulation Material
53
Table 1. External Insulation Systems (Click to enlarge)

Table 1 summarizes the insulation types, limitations and characteristics of the most commonly applied and new systems being offered by suppliers. The systems have progressed significantly in the past 10 years on issues such as: thickness limits, water depth limitations, impact resistance, operating temperature limits, creep with resultant loss of properties, suitability for reel lay installation with high strain loading, life expectancy and resultant U-values and submerged weight.

Brief descriptions of external insulation systems for subsea systems are given below:

  • Polypropylene (PP); polyolefin system with relatively low thermal efficiency. Applied in 3-4 layers, can be used in conjunction with direct heating systems. Specific heat capacity 2000 J/(kg-K);
  • Polypropylene-Syntactic PPF (SPP); controlled formation of gas bubbles are used to reduce the thermal conductivity, however as ocean depth and temperature increase, rates of compression and material creep increase. Generally not used on its own;
  • Polypropylene-Reinforced Foam Combination (RPPF); a combination of the above two systems incorporating a FBE layer, PPF and an outer layer of PP to minimize creep and water absorption;
  • Polyurethane (PU); a polyolefin system with relatively low thermal efficiency; has a relatively high water absorption as the temperature increases over 50 ^C. Commonly applied with modified stiffness properties to field joints;
  • Polyurethane-Syntactic (SPU); one of the most commonly applied systems over recent years; offers good insulation properties at water depths less than 100 m. Specific heat capacity, 1500 J/(kg-K);
  • Polyurethane-Glass Syntactic (GSPU); similar to SPU but incorporates glass providing greater creep resistance; specific heat capacity 1700 J/(kgK).
  • Phenolic Syntactic (PhS), Epoxy Syntactic (SEP) & Epoxy Syntactic with Mini-

    Spheres (MSEP); based on epoxy and phenolic materials which offer improved

    performance at higher temperatures and pressures. These materials are generally 

    applied by trowel, pre-cast or poured into moulds. For example SEP was used on the 6-

    mile King development by pouring the material under a vacuum into polyethylene 

    sleeves. Specific heat capacity 1240 (J/kgK).

PP and PU are the main components of insulation coating systems. The syntactic insulations, incorporating spheres are used to improve insulation strength for hydrostatic pressure.

54
Figure 2. Thermal Insulation
http://www.f-e-t.com/images/uploads/sea-sleeve-for-field-joints-on-concrete-weight-coated-cwc-pipelines.gif

Structural Issues
Installation and operation loads:
Coating systems for installation through reeling need careful selection and testing, as some systems have experienced cracking particularly at field joints where there is a natural discontinuity in the coating. This can lead to strain localization and pipe buckling. Laying and operation of sub-sea pipelines requires the load transfer through the coating to the steel pipe and from the steel pipe to the coating. The coating should have a sufficient shear load capacity to hold the steel pipe during the laying process. Thermal fluctuations in the operation process lead to expansion and contraction of the pipe. The thermal insulation coating is required to follow such changes without being detached or cracked. These requirements have resulted in most thermal insulation systems being based on bonded geometries, comprised of several layers or cast-in shells.

Hydrostatic loads:
Deepwater flowlines are subject to significant hydrostatic loading due to the high water depths. The thermal insulation system must be designed to withstand the large hydrostatic loads. The layer of foamed thermal insulation is the weakest member of the insulation system and therefore the structural response of the insulation system will depend largely on this layer. Elastic deformation of the system leads to a reduction in volume of the insulation system, and an increase in density and thermal conductivity of the foam layer, which leads to an increase in the U-value of the system. In order to reduce the elastic deformation of the system stiffer materials are required. The stiffness of the foams increases with increasing density. Therefore to reduce elastic deformation of the system, higher density foams are required.

Creep:
Thermal insulation operating in large water depths for long periods (e.g. 20/30 years) can be subject to significant creep loading. Creep of thermal insulation can lead to some damaging effects, such as structural instability leading to collapse, and loss of thermal performance. Creep of polymer foams leads to a reduction in volume or densification of the foam. The increased density of the material leads to an increased thermal conductivity and therefore, the effectiveness of the insulation system is reduced. To design effective thermal insulation systems for deepwater applications the creep response of the insulating foam must be known.
The factors affecting the creep response of polymer foams include temperature, density and stress level. The combination of high temperatures and high stresses can accelerate the creep process. High density foams are desirable for systems subject to large hydrostatic loads for long time periods.

The design of thermal insulation systems for deepwater applications is complex and involves a number of thermal and structural issues. These thermal and structural issues can sometimes conflict. In order to design effective thermal insulation systems, the thermal and structural issues involved must be carefully considered to achieve a balance. For long distance tie-backs the need for a substantial thickness of insulation will obviously have an impact on the installation method due to the increase in pipe outside diameter and the pipe field-jointing process. As most insulation systems are buoyant, the submerged weight of the pipe will decrease. It may be necessary to increase pipe wall thickness to achieve a submerged weight suitable for installation and on-bottom stability.

Source:
Bai, Yong and Bai, Qiang. Subsea Pipelines And Risers. USA: Elsevier Inc. 2005

To Know Ocean Engineering More..